Oleh: Fiddian Khairudin (Dosen UNISI Tembilahan)
Hampir satu tahun berjalan atas atensi pimpinannya dan inisiatif bersama, tanpa paksaan sesuai kemampuan masing-masing individu, civitas Universitas Islam Indragiri (UNISI) bersepakat untuk ikut menyalurkan sebagian pendapatan gaji masing-masingnya kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), semata-mata dengan tujuan berperan serta dalam memutus rantai kemiskinan menjadi usaha pemberdayaan umat dan masyarakat. Inisiatif mulia yang lahir dari ruang-ruang akademik ini sejatinya lebih dari sekadar program pengumpulan dana. Ia adalah sebuah jawaban nyata dan langkah konkret di tengah perdebatan teoretis (khilafiyah) mengenai zakat profesi yang telah lama bergulir.
Hingga saat ini, pemahaman masyarakat sering terpaku –hanya ingin condong– pada daftar harta yang disebutkan dalam teks klasik seperti emas, perak, hasil pertanian, peternakan, dan barang temuan, sehingga profesi modern dianggap tidak wajib dizakati. Pandangan klasik ini menggunakan metode takhshish al-‘am (mengkhususkan yang umum) dan tampak kuat secara tekstual, namun berisiko membekukan syari’at serta mengabaikan tujuan zakat sebagai instrumen keadilan (al-‘adalah) dan kemaslahatan (al-maslahah).
Sedang pandangan kontemporer menggunakan metode ta’mim al-ma‘na (memperluas cakupan makna) terhadap firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 267, “… infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik …”, khususnya pada frasa ”hasil usahamu” (ma kasabtum), yang mencakup semua bentuk penghasilan halal, baik dari kerja “otot” maupun “otak”. Akan menjadi ironi keadilan jika petani kecil yang berpanas-panasan di sawah diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil panennya yang tak seberapa, sementara seorang profesional di ruang ber-AC dengan penghasilan belasan, puluhan, bahkan ratusan juta rupiah merasa terbebas dari kewajiban serupa. Ini tentu bukanlah cerminan dari semangat keadilan Islam.
Ketika sebagian kalangan masih berkutat pada pertanyaan: “apakah wajib?”, civitas UNISI telah melompat ke pertanyaan yang lebih substansial: “bagaimana kita bisa berkontribusi secara maksimal?”. Langkah yang diambil para akademisi dan staf UNISI ini adalah cerminan dari pemahaman Islam yang hidup dan relevan. Mereka, sebagai kaum profesional dengan penghasilan tetap –mengkin masih belum cukup secara relatif–, menyadari bahwa ruh dari ajaran zakat adalah keadilan sosial. Mereka memahami bahwa firman Allah dalam SQ. Al-Baqarah: 267 sebelumnya, adalah seruan universal yang melintasi zaman. Gaji dan honorarium yang mereka terima setiap bulannya adalah bentuk nyata dari “hasil usaha” di era modern, dan menyisihkan sebagiannya adalah wujud ketaatan yang responsif terhadap kondisi kekinian. Civitas UNISI menunjukkan teladan bahwa semakin besar karunia intelektual dan finansial yang diterima, semakin besar pula tanggung jawab sosial yang diemban.
Lebih dari itu, pilihan untuk menyalurkan zakat profesi ini melalui lembaga resmi layaknya BAZNAS menunjukkan sebuah visi dan kecerdasan strategis. Ini adalah pergeseran dari sekadar beramal secara individual menjadi sebuah gerakan pemberdayaan sosial yang terstruktur. Mereka paham bahwa donasi perorangan mungkin hanya mampu memberi “ikan” untuk makan sehari. Namun, zakat yang dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel oleh BAZNAS mampu membangun “kolamnya” dengan menciptakan program-program pemberdayaan ekonomi, beasiswa pendidikan, dan layanan kesehatan yang memutus mata rantai kemiskinan dari akarnya.
Apa yang telah diinisiasi oleh UNISI selama hampir setahun ini adalah sebuah etalase inspiratif. Ini adalah bukti bahwa ketika kesadaran intelektual, kepekaan spiritual, dan niat tulus untuk membersihkan harta bersatu, maka lahirlah sebuah kekuatan sosial yang transformatif. Gerakan ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan aksi nyata yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat dan sekitarnya. Pada akhirnya, di tengah khilafiyah (perbedaan pendapat), nurani kita sebagai muslim modern harus terpanggil, syariat zakat profesi adalah manifestasi dari keimanan yang hidup.
Semoga langkah kolektif civitas UNISI ini menjadi teladan yang menular, menginspirasi institusi lain dan individu profesional di seluruh penjuru negeri untuk tidak lagi ragu. Gerakan ini membuktikan bahwa ketika niat tulus untuk menyucikan harta bertemu dengan manajemen yang profesional, hasilnya bukan lagi sekadar bantuan sesaat, melainkan sebuah fondasi untuk perubahan peradaban. Menunaikannya melalui lembaga resmi seperti BAZNAS bukan hanya menggugurkan kewajiban dan menyucikan jiwa, tetapi juga berarti berpartisipasi aktif dalam gerakan kolektif untuk memutus mata rantai kemiskinan dan membangun peradaban yang lebih adil, sebagaimana dicita-citakan oleh Islam.