Pesta Demokrasi Tanpa Cinta
Oleh: Khairuddin, M.Pd.I
Dosen Universitas Islam Indragiri Tembilahan
Delapan abad yang lalu, Jalaluddin Rumi (1207-1373), salah seorang penyair sufi besar, dalam karya monumentalnya Matsnawi, mengungkapkan: “Jika tiada cinta, dunia akan membeku”. Cinta baginya adalah penaka lautan luas dan dalam, seluas dan sedalam daya jelajah nurani manusia itu sendiri.
Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi asas hubungan antar manusia, antar elit politik, antar bangsa, antar sistem hidup yang berbeda. Pertimbangan rasional dan kepentingan melulu, tampaknya sering benar membawa kepada kekacauan, kerusuhan bahkan kebinasaan. Pesta demokrasi yang dibayangi oleh lomtaran caci maki, sikap saling menghujat dan menjatuhkan, pemilu yang berakhir dengan kerusuhan adalah satu bentuk ekstrim yang destruktif dari corak hubungan manusia yang terlepas dari panduan cinta.
Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW, pernah berpesan “Tidaklah beriman seorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Nabi Isa As pun pernah berpesan, “Cintailah Jiranmu”. Tapi pada saat peradapan manusia semakin materialistis, masih adakah telinga yang mau mendengar pesan-pesan agung para Nabi itu? Tentu masih ada, tapi kebanyakan mereka sedang berada di arus pinggir gelombang peradapan. Peradapan yang lahir dari konstitusi hati yang sedang membeku.
Kebekuan hati punya banyak implikasi, diantaranya adalah lahirnya sikap rakus, baik terhadap benda maupun terhadap kekuasaan. Benda dan kekuasaan di tangan hati yang beku akan membawa malapetaka. Kerakusan sebenarnya adalah simbol dari struktur batin yang sakit dan labil. Malangnya adalah banyak sekali orang yang tidak mampu melihat bencana yang mungkin ditimbulkan oleh watak rakus ini, khususnya dalam suatu sistem kekuasaan.
Pembaca yang budiman,
Walau perhelatan pemilu sudah diatur oleh perundang-undangan, terkadang sangat sulit terselenggara dengan lancar dan berkualitas karena bermainnya faktor-faktor kepentingan politik, kepentingan hanya untuk berebut kekuasaan ketimbang hakikat yang diingini oleh pemilu tersebut yaitu pemerintahan yang legitimate. Maka tidak heran berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan pemilu seperti intimidasi, saling menjatuhkan, ketidakjujuran dan ketidakadilan tidak dapat dielakkan, hal ini bisa menjadi bumerang sebagai gejala awal konflik yang tidak jarang berakhir dengan kericuhan dan kerusuhan yang dapat merusak keutuhan dan eksistensi masyarakat.
Gendrang pesta demokrasi telah ditabuk, tahapan demi tahapan pemilu pun sudah dilalui. Dalam pertarungan pemilu, hasil akhirnya nanti tentu ada yang menang dan ada yang kalah, dituntut kedewasaan berpolitik baik para tokoh politiknya, tim sukses maupun oleh pendukungnya.
Slogan siap menang dan siap kalah, hendaknya tidak hanya disepakati diatas kertas, tapi jauh dari itu harus diimplementasikan pada dataran realitas. Ini artinya ketika menang janganlah membusungkan dada, sombong dan angkuh, kemenangan jangan dimiliki sendiri, kita harus berbagi dengan pihak lain bahkan kalau perlu juga dengan musuh, sebab yang disebut musuh disini bagaimanapun saudara kita sendiri, teman kita sendiri, keluarga kita sendiri, keluarga seagama dan setanah kampung, musuh politik kita sesungguhnya adalah kaum kolonialis atau kaum imperialis (penjajah).
Begitu juga ketika kalah, kita harus berjiwa besar dan ksatria, jangan lalu membuat kekacauan dan keonaran,, menghasut dan menebar kebencian, melakukan tindakan anarkis dengan merusak dan membakar pasilitas umum, kalau ini yang terjadi berarti kita masih anak ingusan yang baru terjun kedunia politik, berarti kita belum siap dan belum dewasa untuk berdemokrasi, karena tindakan destruktif apapun alasannya jelas melanggar hukum. Ketika terjadi konflik horizontal, pada gilirannya masyarakat juga yang dirugikan, masyarakat yang menjadi pesakitan (masuk bui) sementara aktor politiknya yang berada dibelakang layar justru tidak tersentuh oleh hukum.
Kita berharap dari hasil pemilu tahun 2024 ini, akan melahirkan pemimpin yang jujur, pemimpin yang adil, pemimpin yang amanah. Tentu hal ini diawali dari penyelenggaraan pemilu yang bersih, bersih dari prilaku curang, bersih dari rasa kecewa, bersih karena lega dan ikhlas, dengan begitu hasil pemilu kita sah secara hukum, sah secara politik dan sah pula secara moral.
Hilangnya cinta kejujuran, hilangnya cinta keadilan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi, akan menjadi bidan yang melahirkan keputusan-keputusan kontradiktif yang bisa menimbulkan gesekan-gesekan pada tingkat akar rumput (pendukung), situasi politik seperti ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh politikus-politikus yang rakus kekuasaan.
Selamat Memilih !!
https://sinta.kemdikbud.go.id/authors/profile/6249828
Tulis Komentar