Oleh: Khairuddin.
Dosen Universitas Islam Indragiri (UNISI) Tembilahan
Andai sangsaka Merah Putih berhenti membisu, mungkin ia akan berteriak dengan lancang, “Turunkan saja aku dari puncak ketinggian ini, karena percuma saja aku berkibar dengan gagah, akan tetapi merah dan putihku tidak pernah lagi engkau anggap ada.”
Indonesia belum merdeka, pak!, begitulah ungkapan mahasiswa disela-sela diskusi dengan penulis. Ungkapan ini dilontarkan berangkat dari kegelisahan mereka akan eksistensi sebuah negara yang bernama Indonesia. Kegelisahan mereka ini, penulis susun dalam bentuk untaian kata sehingga melahirkan sekelumit tulisan sederhana.
Bukti Indonesia belum merdeka, mereka ungkap realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat di seantero nusantara. Mereka sampaikan bahwa, rakyat masih bergelimang dalam kemiskinan dan penderitaan yang teramat menyakitkan, para pejuang negeri ini yang masih hidup mulai terlupakan, ribuan petani yang terus berteriak tak berdaya karena murahnya harga hasil pertanian sementara kebutuhan hidup semakin mahal, sulitnya rakyat miskin mendapatkan kesehatan, lihat pula buruh pabrik atau kuli bangunan yang harus bermandi peluh untuk memberi nafkah keluarga, sementara upah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan istrinya.
Kemudian mereka umbar tentang minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan, sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah angka pengangguran. Antrean pencari kerja yang begitu panjang sama persis dengan fenomena antrean pengisian BBM yang sampai puluhan meter di banyak daerah, mengingatkan kita pada zaman penjajahan Jepang dulu.
Mereka ungkap data jumlah anak-anak yang mengalami putus sekolah, karena orang tuanya tidak mampu menanggung biaya sekolah, baju seragam dan membeli buku. Makanya, pantas saja sampai-sampai ada istilah dan buku terbit dengan judul ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah’ sebagai sindiran betapa mahalnya harga pendidikan di negeri ini.
Mereka paparkan keprihatinan atas beberapa kasus penegakan hukum. Penegakan hukum dinegeri ini seperti paku, tajam kebawah tapi tumpul keatas. Sehingga keadilan dalam putusan hanya sebatas khayalan menjelang tidur. Mereka terus sampaikan kebobrokan ini, kecolongan itu, keteledoran di sana, kelemahan di sini sehingga hampir tidak ada sedikit pun ruang untuk menceritakan kebaikan dan prestasi negeri ini.
Mereka katakan, lomba 17 Agustusan sekedar lucu-lucuan giat dilaksanakan, semisal lomba balap karung, sepakbola pake sarung, lomba makan kerupuk, lomba memasukkan pensil ke botol hingga panjat pinang dan tangkap belut. Semua itu hanya hiburan sesaat untuk melupakan beban hidup yang berat. Setelah lomba selesai, rakyatpun dihadapkan lagi pada masalah hidup yang menghimpit. Sungguh, negeri ini benar-benar belum merdeka!.
Mereka pun dengan entengnya mengatakan Indonesia memang sudah merdeka secara de jure dan de facto, namun Indonesia belum merdeka seutuhnya dalam hal mengelola kekayaan alam, Indonesia masih dijajah oleh asing dari segi pemikiran, sektor ekonomi dan lain sebagainya.
Pernyataan-pernyataan diatas, terus membombastis di pendengaran kita, seolah-olah tidak ada harapan untuk hidup di negeri yang kaya raya ini. Akibatnya, tidak sedikit juga orang-orang “cerdas” berkuadratkan “pintar” di negeri ini turut tersugesti dan berteriak mengatakan bahwa “Indonesia belum merdeka”.!
Diakhir diskusi, jawaban bersifat objektif diperlukan. Maka di sini perlu digarisbawahi, bahwa semua ini sebenarnya bukan tentang Indonesia sudah atau belum merdeka, akan tetapi ini murni kelemahan bangsa kita dalam mengisi hakekat kemerdekaan itu sendiri.
Bangsa yang besar dan kuat adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, Untuk mengisi hakekat kemerdekaan maka yang perlu dilakukan adalah mengenang para pahlawan dan makamkan mereka dalam hati. Agar hati kita mudah tergetar untuk meneruskan cita-cita perjuangan mereka, agar hati kita mudah terbuka oleh tuntutan rakyat kecil, agar hati kita yang keras dan beku ini luluh karena penderitaan mereka sehingga dalam mengisi kemerdekaan ini, benar-benar hanya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan kesejahteraan para penguasa.
Jika kita tidak adil dan tidak jujur mengisi kemerdekaan sehingga matinya nilai keadilan dan kebenaran, jika kita belum cukup mampu berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya tergantung dari negara lain, jika korupsi merjalela seolah-olah tak bertepi, jika para penguasanya masih hidup bermewah-mewahan dengan harta dari tahta, omong kosong menciptakan kesejahteraan rakyat. Maka wahai rakyat janganlah menangis, wahai para pahlawan janganlah bersedih, karena tanah air ku yang engkau perjuangkan dengan darah, kesejahteraannya masih lama lagi terwujud bahkan mungkin tidak akan pernah terwujud.
78 tahun sudah usia kemerdekaan negara kita, kritik dan saran yang sifatnya membangun tetap harus kita suarakan, ide dan gagasan cemerlang harus terus kita sampaikan dan doa terbaik untuk negeri harus terus kita panjatkan. Jika cara orang lain mencintai Indonesia tak sama dengan cara kita, maka demi Tuhan, kita tidak berhak menuduh mereka ekstrim, radikal apalagi teroris.
Dirgahayu Indonesia Ku.!
Nama : Khairuddin, S.Ag.,M.Pd.I
Pekerjaan : Dosen Universitas Islam Indragiri (UNISI) Tembilahan.
Tulis Komentar